Rabu, 09 Januari 2013

Budaya Jawa sebagai sumber pendidikan karakter

                                                                            BAB I
PENDAHULUAN

a.   Latar Belakang
Budaya jawa sebagai sumber pendidikan karakter tidak perlu diragukan lagi keberadaannya, karena dalam budaya jawa syarat akan pendidikan nilai yang merupakan substansi utama dari pendidikan karakter. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam budaya jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya. Pendidikan karakter yang digali dari substansi budaya jawa dapat menjadi pilar pendidikan budi pekerti bangsa.
Pendidikan karakter sebagai pilar pendidikan budi pekerti bangsa, dewasa ini menjadi sangat penting, karena pendidikan karakter sangat menentukan kemajuan peradaban bangsa, yang tak hanya unggul, tetapi juga bangsa yang cerdas. Keunggulan suatu bangsa terletak pada pemikiran dan karakter. Kedua jenis keunggulan tersebut dapat dibangun dan dikembangkan melalui pendidikan.Oleh karena itu, sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran dan kecerdasan (pemikiran), tetapi juga moral dan budi pekerti, watak, nilai, dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia (karakter). Dengan kata lain, antara pemikiran dan karakter harus menjadi kesatuan yang utuh.
Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber budaya jawadapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran budaya jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses meaning making (membuat bermakna), sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai kultural bahasa dan sastra Jawa.

b.   Rumusan Masalah

1.      Mengapa menggunakan budaya jawa dalam mengembangkan pendidikan berbasis karakter?
2.      Apa isi pendidikan karakter yang bermuatan nilai kearifan lokal budaya Jawa?
3.      Bagaimana pengajaran pendidikan karakter berbasis nilai kearifan lokal yang bersumber dari budaya Jawa?

c.    Tujuan

1.      Menggali nilai-nilai budaya jawa yang masih relevan pada masa sekarang untuk dijadikan acuan dalam mengembangkan pendidikan karakter berbasis nilai Budaya Jawa.
2.      Acuan bahan ajar kepada para siswa dalam mengembangkan karakter peserta didik yang sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia.
3.      Menjaga dan melestarikan buday Jawa yang pada masa modern tergeser oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
  

  BAB II
      PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Karakter
a.      Pengertian Karakter
       Secara etimologis, kata karakter berasal dari bahasa lattin kharakter, kharassein, dan kharax yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini dimulai banyak digunakan pada abad ke-14 dalam bahasa Perancis caractere, kemudian masuk dalam bahasa inggris menjadi character dan akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter.[1]
       Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Menurut Wayne, istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku.Menurutnya ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, menunjuk pada bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila berperilaku tidak jujur, kejam tentu orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personaliti.Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.[2]
       Dalam hal ini karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tingkah laku.Walaupun istilah karakter dapat menunjuk kepada karakter baik atau karakter buruk, namun dalam aplikasinya orang dikatakan berkarakter jika mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam perilakunya.


b.      Ruang Lingkup Nilai dalam Pendidikan Karakter/ Budi Pekerti
       Menjelaskan ruang lingkup pembahasan nilai pendidikan budi pekerti yang bersumber pada etika dan moral menekankan unsur utama kepribadian, yaitu kesadaran dan berperannya hati nurani dan kebajikan bagi kehidupan yang baik berdasarkan sistem dan hukum nilai-nilai moral masyarakat.Hati nurani adalah kesadaran untuk mengendalkan atau mengarahkan perilaku seseorang dalam hal-hal yang baik dan mengindari tindakan yang buruk.[3]
       Dengan demikian terdapat hubungan antara budi pekerti dengan nilai-nilai moral dan norma hidup yang unsur-unsurnya merupakan ruang lingkup dari pembahasan budi pekerti. Unsur-unsur budi pekerti antara lain, yaitu: hati nurani, kebajikan, kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, kesopanan, kerapian, keikhlasan, kebijakan, pengendalian diri, keberanian, bersahabat, kesetiaan, kehormatan dan keadilan.[4]
       Menurut Ratna Megawangi, sembilan pilar karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yaitu:[5]
a)      Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty)
b)      Tanggungjawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
c)      Amanah (trustworthiness, reliability, honesty)
d)     Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience)
e)      Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, emphaty, generousity, moderation, cooperation)
f)       Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasim)
g)      Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)
h)      Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
i)        Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
      Kesembilan karakter di atas harus ditanamkan sedini mungkin, dengan harapan kelak anak menjadi orang yang berguna bagi sesama, tangguh dan berjiwa kuat dalam menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
       Menurut Thomas Lickona, ada tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yang harus terintegrasi dalam pembentukan karakter, yaitu:[6]
a)      Knowing the good (moral knowing), artinya anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan yang harus diambil dan mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Membentuk karakter anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka juga harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut.
b)      Feelling the good (moral feeling), artinya anak mempunyai kecintaan terhadap kebajikan dan membenci perbuatan buruk. Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Pada tahap ini, anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dilakukannya. Sehingga jika kecintaan ini sudah tertanam, maka akan menjadi kekuatan yang luar basa dari dalam diri anak untuk melakukan kebaikan dan “mengerem” atau meningalkan perbuatan negatif.
c)      Acting the good (moral action), artinya anak mampu melakukan kebajikan dan terbiasa melakukannya. Pada tahap ini anak dilatih untuk melakukan perbuatan baik, sebab tanpa melakukan sesuatu yang sudah diketahui atau dirasakan tidak akan ada artinya.
       Tugas pendidikan karakter selain mengajarkan mana nilai-nilai kebaikan dan mana nilai-nilai keburukan, yang justru ditekankan adalah langkah-langkah penanaman kebiasaan (habituation) terhadap hal-hal yang baik. Hasilnya, individu diharapkan mempunyai pemahaman tentang nilai-nilai kebaikan dan nilai keburukan, mampu merasakan nilai-nilai yang baik, dan mau melakukannya.
B.       Pendidikan Moral Dalam Budaya Jawa
       Keluarga jawa pada umumnya mulai mendidik anak-anaknya pada anak tersebut belum lahir, yaitu dengan cara tidak langsung dari ibunya. Ujud pendidikan itu pada umumnya melalui berbagai larangan atau keharusan yang harus dijalankan oleh ibu yang sedang hamil tidak boleh makan-makanan tertentu, tidak boleh mengatakan kata-kata jelek, tidak boleh membunnuh dantidak boleh marah.[7] Karena keyakinan dalam budaya orang jawa perilaku ibu pada saat mengandung akan turun pada anaknya sehingga para ibu yang sedang mengandung sehati-hati mungkin dalam berbuat supaya anaknya juga mewarisi sifat dari ibunya.
       Tidak dapat disangkal bahwa antara ibu dan anak yang dikandungnya ada hubungan yang erat sekali. Jika ibu makan-makanan tertentu maka akan berpengaruh pada anak yang dikandungnya. Bila ibu marah-marah, membunuh binatang berarti ada unsur marah, begitu juga kalau ibu berkata-kata jelek juga ada unsur marah, maka perbuatan itu juga akan berpengaruh kepada anak yang dikandungnya.
       Bagi keluarga jawa anak mempunyai kedudukan tersendiri dalam hati mereka (Sunoto,1989). Ada ucapan jawa mengatakan bahwa anak iku gegntelaning ati, atau anak itu tempat bergantungnya hati. Ucapan ini bermaksud bahwa anak adalah pengikat dalam hubungan berkeluarga. Dalam adat jawa jika ada suatu pertemuan yang ditanyakan adalah yang berkaitan dengan anak mulai dari berapa anaknya, laki-laki atau perempuan, dimana sekolahnya. Oleh karena itu orang tua mendambakan seorang anak yang shaleh dan bias membahagiakan orang tuanya.[8]
       Ini sesuai dengan falsafah orang jawa mendhem jero mikul dhuwur, anak molah bapa kepradhah, yang berarti menimbun yang dalam dan memikul yang tinggi, anak yang berbuat bapak yang bertanggung jawab. Sehingga dalam falsafah hidup orang jawa harus mendidik anak supaya anak mempunyai kepribadian yang baik seperti:[9]
a)      Sikap saling menghormati, ini terlihat pada bahasa keseharian orang jawa dimana di dalamnya ada undak-unduk basa (tingkatan bahasa) yang dilakukan antara orang muda dengan orang yang lebih tua. Dalam falsafah orang jawa sering dikenal dengan among saha miturut, sedulur tuwa iku dadi gegantining wong tuwa.
b)      Sikap dan watak jujur, para orang tua mengajarkan kepada anaknya untuk berperilaku jujur baik dalam ucapan maupun tindakan.
c)      Sikap adil, anak-anak harus mengetahui hak dan kewajiban masing-masing dan tahu bagaimana memperlakukan saudaranya dalam segala hal. Tidak boleh berbuat serakah, murka, ora narima ing pandum atau loba, tamak.
d)     Rukun agawe santosa, sikap saling tolong menolong, gotong royong, dan tanggung awab harus ditanamkan olejh orang tua kepada anaknya sejak dini supaya anak dalam menghadapi kehidupanya tidak berlomba-lomba untuk mencari kebahagiaan pribadi saja akan tetapi juga membawa kebahagiaan bagi lingkungan sekitarnaya. Seperti dalam falsafah jawa rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah.

C.      Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Budaya Jawa
a.  Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Sumber Pendidikan Karakter
Bahasa dan sastra Jawa sebagai sumber pendidikan karakter setidaknya harus dibawa pada tiga fungsi pokok bahasa, yaitu (1) alat komunikasi, (2) edukatif, dan (3) kultural.Fungsi alat komunikasi diarahkan agar siswa dapat menggunakan bahasa Jawa secara baik dan benar untuk keperluan alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat. Fungsi edukatif diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai budaya Jawa untuk keperluan pembentukan kepribadian dan identitas bangsa.Fungsi kultural agar dapat digali dan ditanamkan kembali nilai-nilai budaya Jawa sebagai upaya untuk membangun identitas bangsa.[10]
Ketiga fungsi pokok itu jika dilihat dari substansi nilai, merupakan usaha pengembangan dan penanaman nilai-nilai moral.Pada fungsi pertama, bahasa sebagai alat komunikasi yang diarahkan agar siswa dapat berbahasa Jawa dengan baik dan benar, mengandung nilai hormat atau sopan santun. Seperti diketahui bahwa dalam bahasa Jawa berlaku penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh, dan dalam unggah-ungguh itu terkandung nilai-nilai hormat di antara para pembicara, yaitu orang yang berbicara,  orang yang diajak berbicara , dan orang yang dibicarakan. Sebagai contoh, untuk menyatakan keadaan sedang makan, jika yang berbicara anak dan yang dibicarakan bapak, menggunakan kalimat “Bapak, nembe dhahar” (Bapak baru makan), jika yang sedang makan orang yang berbicara  anak, menggunakan kalimat “Kula saweg nedha” (Saya sedang makan).Penggunaan kata dhahar (makan) merupakan realisasi dari rasa hormat dari anak kepada orang tua.
Bahasa jawa membawakan kitab-kitab lama dan baru, memberikan tuntunan moral dan ketuhanan untuk hidup bermakna dan mendambakan kelepasan jiwa dalam kesempurnaan.[11]
Keadaan unggah-ungguh bahasa Jawa saat ini, tidak perlu ditakutkan bahwa bahasa Jawa bertingkat-tingkat. Dalam “Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa” (1991), unggah-ungguh bahasa Jawa sudah dibakukan, yaitu dibedakan atas dipakai tidaknya kosakata yang berkadar halus. Kosakata berkadar halus adalah kata yang secara tradsional diidentifikasi sebagai krama inggil.Atas dasar itu, unggah-ungguh bahasa Jawa dibedakan atas (1) ngoko, (2) ngoko alus, (3) krama, dan (4) krama alus.Unggah-ungguh ngoko semua kosakata terdiri dari kosakata ngoko, ngoko alus kosakatanya ngoko yang di dalamnya terdapat kosakata halus atau krama inggil, krama semua kosakata terdiri dari kosakata krama, dan krama alus kosakatanya krama yang di dalamnya terdapat kosakata krama alus atau krama inggil.[12]
Fungsi edukatif diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai budaya Jawa untuk keperluan pembentukan kepribadian dan identitas bangsa. Pengajaran unggah-ungguh bahasa Jawa seperti diuraikan di depan, selain untuk keperluan alat komunikasi juga dapat mengembangkan fungsi edukatif. Melalui unggah-ungguh basa, siswa dapat ditanamkan nilai-nilai sopan santun. Upaya yang lain adalah melalui berbagai karya sastra Jawa. Sastra wayang misalnya, selain berfungsi sebagai tontonan (pertunjukan) juga berfungsi sebagai tuntunan (pendidikan).Melalui sastra wayang, para siswa dapat ditanamkan nilai-nilai etika, estetika, sekaligus logika.Ungkapan tradisonal Jawa juga banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa untuk kepentingan pendidikan. Semboyan pendidikan nasional kita “Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri Handayani” juga berasal dari ungkapan tradisional Jawa. Pendek kata, dalam khasanah bahasa dan sastra Jawa banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa yang dapat berfungsi untuk mengembangkan fungsi edukatif, yaitu fungsi untuk pembentukan kepribadian.[13]
Fungsi kultural diarahkan untuk menggali dan menanamkan kembali nilai-nilai budaya Jawa sebagai upaya untuk membangun identitas bangsa. Jika fungsi sebagai alat komunikasi dan edukatif telah terlaksana dengan baik, sebenarnya fungsi kultural akan tercapai, karena fungsi kultural sesungguhnya terkait langsung dengan kedua fungsi itu. Melalui fungsi alat komunikasi dan edukatif, diharapkan telah ditanamkan nilai-nilai kepribadian luhur sebagai bagian dari dari tata nilai dan budaya Jawa. Jika penanaman nilai-nilai budaya Jawa telah berhasil, maka akan terbangun kepribadian yang kuat, dan pada akhirnya akan membentuk karakter yang kuat pula.
Dalam fungsi yang ketiga ini, fungsi kultural, banyak karya sastra Jawa, baik karya sastra Jawa lama maupun Jawa baru yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa sekaligus mengandung nilai-nilai moral, misalnya yang terkenal sekali yaitu Pepali Ki Ageng Sela yaitu pedoman hidup yang diberikan oleh Ki Ageng Sela, dekat purwodadi Grobogan, Jawa Tengah seorang keturunan Majapahit yang Hidup sebagai petani dan Menurunkan Panembahan Senopati pendidri mataram yang didalamnya berisikan 32 nasehat seperti dalam bait pertama jangan tinggi hati, jangan sombong, jangan jahil, jangan serakah, jangan panjang tangan, jangan gila pujian dll.[14]
Selanjutnya, masih banyak karya sastra Jawa yang mengandung nilai-nilai moral sebagai bahan implementasi pendidikan karakter, misalnya Serat Sasana Sastra yang disusun oleh Ki Yasawidagda dan Ki Hadiwijana, Serat Gita Wicara yang ditulis oleh Ki Hadiwijana, Arjunasasrabahu yang ditulis oleh R. Ng, Sundisastro, Serat Sanasunu yang ditulis oleh R. Ng. Yasadipura II, Serat Trilaksita yang ditulis oleh M. Ng. Mangun Wijaya, dan lain-lain. Jika kita sulit mencari bukunya, kita dapat mengunduh (download) pada internet melalui google dengan cara mengetik kata-kata kunci, misalnya Serat Sasana Sastra, maka akan muncul apa yang kita cari.

b.   Kearifan Lokal dan Pendidikan Berkearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kebijaksanaan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat. Kearifan lokal merepresentasikan sebuah nilai kebudayaan masyarakat yang menaungi keseluruhan kompleksitas norma dan perilaku yang dijunjung tinggi serta menjadi sebuah “belief”. Kearifan lokal dalam kenyataan sehari-hari dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, kesusasteraan, dan naskah-naskah kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Unsur revitalisasi kearifan lokal dalam merespon lingkungan adalah melalui penguatan masyarakat berbasis inisiatif-inisiatif lokal.Ciri dasar kearifan lokal adalah adanya kepedulian sesama manusia dan alam semesta.
Kebudayaan jawa membawakan adab, pendidikan, pengajaran, kesenian kesusastraan yang penuh ajaran moral, filsafat yang mengandung pemikiran dan cita-cita  kebijaksanaan hidup sampai pada kebatinan/tasawuf  mendekati tuhan yang maha pencipta, kesemuanya memiliki arti sepanjang masa.[15]
Kearifan lokal perlu diintegrasikan dalam gerakan social dan kebudayaan masyarakat. Dengan gerakan semacam ini, akan mampu membawa kesadaran dalam hati nurani masyarakat luas dalam menghadapi persoalan perspektif pendidikan, Upaya pengembangan pemberdayaan potensi lokal yang dilakukan antara lain (a) Pengembangan sumberdaya kelembagaan budaya dan pendidikan melalui optimalisasi dan peningkatan kemampuan pendidikan dan latihan pengenalan karakter berbasis kearifan lokal/inisiatif-inisiatif lokal.(b) Pengembangan sumberdaya kelembagaan budaya dan pendidikan lewat pengadaan program pendidikan dan latihan pengendalian dan pengelolaan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal/inisiatif-inisiatif lokal. (c) Secara akademis perlu pengembangan tenaga perancang dan peneliti dalam berbagai bidang yang secara lintas disiplin mampu menyelesaikan persoalan pendidikan karakter dengan pendekatan yang berbasis kearifan lokal/inisiatif-inisiatif lokal.
Model pendidikan berbasis kearifan lokal adalah model pendidikan yang memiliki relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) dengan bertumpu pada pemberdayaan keterampilan dan potensi kebudayaan lokal di masing-masing daerah.Dalam model pendidikan ini, materi pembelajaran memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup siswa secara nyata, berdasarkan realitas yang dihadapi.Kurikulum yang disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebudayaan siswa.,minat, dan kondisi psikis peserta didik, Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret kebudayaan dihadapi siswa. [16]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai moral merupakan nilai tertinggi, yang memiliki ciri-ciri (1) berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut yang tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Nilai moral terdiri dari ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Nilai moral yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa yang berwujud tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya dapat digunakan sebagai sumber pendidikan karakter.
Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber bahasa dan sastra Jawa dapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses meaning making (membuat bermakna), sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai kultural bahasa dan sastra Jawa.

Daftar Pustaka

Astianto, Heniy, Filsafat jawa, (Warta Pustaka, Yogyakarta: 2006)
Arifin, Andi Agustan, “Matinya Eksistensi Pendidikan”, www.tribuntimur.com. Dalam yahoo.com., 2010
Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008)
Jurnal Transformasi Nilai –Nilai Luhur Sastra Jawa Klasik Sebagai Pengembang “Content” Pendididikan Karakter Berkearifan Lokal Di Sekolah oleh DR. Arif Budi Wurianto hal, 6
Megawangi, Ratna, Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, www.usm.maine.edu.com dalam google.2008
Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga.
Raharja, Puja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam (Ikatan Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995) 
Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)


[1] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008), hal. 102
[2] Ratna Megawangi, Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, www.usm.maine.edu.com dalam google.2008.hal 1
[3] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),  hal. 19-20.
[4]Ibid., hal. 69.
[5] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai…, hal. 110-111.
[6] Andi Agustan Arifin, “Matinya Eksistensi Pendidikan”, www.tribuntimur.com. Dalam yahoo.com., 2010, hal. 1.

[7] Heniy Astianto, Filsafat jawa, (Warta Pustaka, Yogyakarta: 2006) hal 13
[8] Ibid, hal 39
[9] Ibid, hal39-50
[10] Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga.
[11] Puja Raharja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam (Ikatan Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995)  hal. 195
[12] Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga.
[13] Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakara, 2010. Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga.
[14] Selengkapnya baca Puja Raharja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam ( Ikatan Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995)  hal. 111-115
[15] Puja Raharja,dkk. Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam (Ikatan Penerbit Indonesia : Yogyakarta, 1995)  hal. 195
[16] Jurnal Transformasi Nilai –Nilai Luhur Sastra Jawa Klasik Sebagai Pengembang “Content” Pendididikan Karakter Berkearifan Lokal Di Sekolah oleh DR. Arif Budi Wurianto hal, 6

1 komentar: